
Yadi Juliansyah
2000 - 2005 Bachelor of Fine Art Department FSRD – ITB, Bandung
Sorry Yadi juliansyah complete data is still In progress......
-Abstra-x Team-
Namun, corak seni lukis abstrak, terutama pada gagasan formalismenya, justru mendapat perlawanannya dari para perupa muda ITB generasi 80-an. Kedudukan seni lukis abstrak dan formalismenya dipersoalkan. Para perupa yang mempersoalkan mazhab itu diantaranya Arahmaiani, Tisna Sanjaya, Irawan Karseno, Semsar Siahaan, Acep Zamzam dan beberapa lainnya—yang kala itu masih berstatus mahasiswa ITB. Mereka menempuh “jalan lain” yang dianggap “menyimpang” dari kecenderungan arus utama yang kuat di lingkungan perguruan tinggi tersebut. Ketika pendidikan mengajarkan asas-asas “akademis” yang formalistik, mereka justru beralih ke corak lain atau menggunakan media lain yang sama sekali tidak seasas. Langkah disebut sebagai “pencarian diri” atau “perlawanan”. Mereka tidak tampil di pusat-pusat kesenian, tapi di jalan-jalan. Mereka tidak melukis tertib, melainkan menumpahkan seluruh gejolak yang “banal” dengan sapuaan-sapuan kuas yang merefleksikan sifat “neorotik”. Mereka tidak mengagumi Picasso, Rothko ataupun Rouschenberg, melainkan Georg Baselitz, Markus Lupertz, A R Penck, Francesco Clement, Anselm Kiefer.
Itulah masa peralihan yang cenderung melontarkan istilah-istilah gembung dalam setiap diskusi, seperti “konservatisme”, “dogmatisme”, “dominasi”, “kemapanan”. Kegemaran berdiskusi menjadi salah satu ciri umum, dan itu mencerminkan suatu kerisauan yang, setelah Gerakan Seni Rupa Baru, terjadi suatu kesunyian yang cukup panjang di kalangan seniman muda. Namun, pada kurun berikutnya, justru para seniman yang gelisah inilah yang menandai ciri umum seni rupa kontemporer kita di awal 90-an: pertama, kecenderungan menampilkan isu-isu besar yang terkesan penting. Kedua, memberi perhatian pada konteks—sosial, budaya, politik. Ketiga, mengabaikan bahasa dan cara mengungkapkan, terutama dalam karya-karya instalasi, performance, atau bentuk seni konseptual lain yang pada akhirnya terkesan menggampangkan.
Nah, kedudukan kelompok Abstrax ini hendaknya dilihat dari latar belakang di atas yang mungkin cukup eksklusif. Tapi justru lingkungan dan latar yang ekslusif itulah kehadiran mereka menarik untuk dicermati dalam perkembangan seni rupa kontemporer saat ini. Mereka datang setelah eforia sosial-politik-budaya seni rupa kontemporer dekade 90-an mulai pudar, digantikan dengan kecermatan, ketelatenan dan kreativitas mewujudkan sesuatu, apakah lewat gambar-gambar, buku-buku komik, majalah, atau citraan-citraan lain. Meskipun langkah yang mereka tempuh adalah “kembali melukis”, pendekatan yang mereka lakukan dalam memperlakukan “apa” yang dilukis” dan “bagaimana” melukiskan sesuatu memiliki perbedaan, baik dengan kecenderungan perupa dekade 90-an maupun dengan para leluhur atau pelopor modernisme di negri ini.Melalui pameran yang bertajuk “Re-Kreasi Demo-Kreasi” ini kita disajikan pada dua hal yang penting dicatat. Pertama, mereka rata-rata mengunakan medium seni lukis. Kita tahu, dalam perayaan seni rupa kontemporer dekade 90-an, seni lukis dianggap sebagai suatu rezim modernisme yang tidak mencerminkan pluralitas bahasa dan demokratisasi perupaan. Hal ini karena terjadi “pemiskinan” medium yang cukup lama, dimana medium di luar seni lukis tidak mendapat tempat yang layak. Namun dalam perkembangan pemikiran dan persepsi selanjutnya, stigmatisasi negatif terhadap dunia seni lukis dan pemahaman teoritis yang keliru tentang seni rupa kontemporer, menjadikan perkembangan seni rupa kontemporer semacam rezim “penindas” yang baru yang tak bisa menerima demokratisasi seni dengan mengidentikkan dunia seni lukis sebagai sekadar komodifikasi seni. Persepsi yang keliru ini menyebabkan medium ini justru dijauhkan dari wacana seni rupa kontemporer, sehingga menimbulkan pengasingan dan pemiskinan medium dan bahasa.
Kedua, dalam pencitraan, subyek yang mereka hadirkan di atas kanvas, tak tercermin kecenderungan untuk membangun makna-makna tunggal secara otonom sebagaimana terjadi di era 70-an maupun pencitraan yang mengait-ngaitkan konteks pada persoalan-persoalan aktual —sosial, politik, budaya—sebagaimana terjadi pada dekade 90-an.
Ketiga, umumnya cara mereka mengungkapkan dan menghadirkan subyek, menekan kadar subyektivitas yang mengatasnamakan “jiwa” penciptaan. Kita tahu, dalam diskursus kesenimanan atau kepelukisaan pada dekade 50-an sampai 80-an, hasil penciptaan berhubungan dengan kualitas kesenimanan yang tercermin lewat karya. Sebuah hasil ciptaan dihubungkan dengan “jiwa” penciptanya, sehingga seniman menjadi figur yang sangat penting dan sentral. Setiap karya seni atau teks modern selalu diidentifikasi dengan seniman sebagai penciptanya. Misalnya, sebuah lukisan Jeihan atau Affandi, senantiasa dihubungkan dengan “kegelisahan jiwa” penciptanya, dan seniman “berbicara” melalui lukisannya. “… Sedangkan pada Abstrax, kecenderungan yang terlihat bukanlah sebuah upaya untuk menampilkan diri lewat karya — karya bukan semata ekspresi diri dari subyek. Maka, di sini, masalah keontentikan, orisinalitas, kejeniusan seniman, hak penciptaan terkesan bukan satu-satunya tujuan demi suatu proses “re-kreasi” dalam rangka mendemokratisasikan setiap kreasi…”
Basis pemikiran seperti inilah agaknya tema “Re-Kreasi Demo-Kreasi” dapat ditarik hubungannya dengan karya-karya mereka secara individual. Kata Re-Kreasi secara sederhana berarti “kembali berkreasi”, tapi juga bisa dibaca sebagai “tamasya”, Sedangkan Demo-Kreasi plesetan dari Demo krasi, yang kemudian bisa ditafsirkan sebagai “upaya mendemokratisasikan kreasi/seni”.
Maka, seperti tercermin pada praktik kesenian mereka, bahwa mereka ingin kembali berkreasi dengan jalan melukis, tanpa dibebani pandangan seni yang bagaimanapun. Dalam proses berkreasi dan strategi perupaannya, mereka tidak mengacu pada nilai-nilai otonom suatu kebenaran tertentu. Mencipta, bagi mereka, bukanlah suatu proses yang disakralkan, dimana seseorang mendapat inspirasi seperti mendapat wahyu. Mereka bekerja secara kolektif dan mengambil subyek dari sumber-sumber sekunder.
Maka, apa yang kita lihat lewat karya-karya Guntur Timur, M.A. Rahim, Periangga Irianto, Willy Himawan, Gunawan Surya Saputra, Iman Sapari, Dimas Arif , misalnya, cenderung menampilkan makna majemuk (polisemy) dan bukan makna tunggal (monosemy), meskipun cara yang dilakukan tidak mensinkretiskan atau mengeklektiskan berbagai sumber citra. Makna majemuk itu bersumber dari citraan-citraan yang hidup di “media” yang mungkin tampil sebagai makna biasa, lazim, sepele, atau, hasil dari representasi dunia kesenian itu sendiri, seperti pada karya-karya Guntur Timur.
Sedangkan pada karya-karya Zaenudin Ramli, Dadan Setiawan, Yadi Juliansyah makna tunggal dihadirkan sebagai referensi, bukan sebagai pusat acuan. Kecenderungan semacam ini tidak berupaya memusatkan “jiwa” pencipta secara tunggal untuk menampilkan sebuah dunia yang otonom. Dalam wacana seni modern umumnya, pencarian otonomi dan perbedaan itu cukup penting untuk mendapatkan –seakan-akan—suatu “kebenaran tunggal” atau “mitos”, yang dengan itu karya seni dibebaskan dan dilepaskan dari realitas-realitas sekitarnya. Maka sang seniman menjadi pusat “keakuan” yang tak tergantikan karena dialah yang “melahirkan” sebuah karya. Sedangkan bagi kelompok ini—juga menjadi gambaran perupa saat ini—tidak ada kamus kata “melahirkan” bagi seorang perupa untuk mendapat pengakuan dan keakuan. Karena kenyataannya toh antara kelaziman dan ketidaklaziman, duplikasi dan kreasi, kreasi dan rekreasi tidak ada perbedaannya.
-Chandra Johan,
perupa dan pengamat seni rupa
No comments:
Post a Comment